Bahasan Tentang Bahasa

--

Kalo kata suaminya Maudy Ayunda, Jesse Choi, di halaman mediumnya: “Bahasa Indonesia is fairly quick to pick up and highly efficient but lacks grammar, forcing the listener to be especially sensitive to context and tacit social dynamics”. Coming from supposedly a Korean speaker, gue tidak bisa memungkiri bahwa dia tidak salah.

Gue belajar Bahasa Korea baru sebentar dan dari yang sebentar ini pun, gue sadar betapa “kaya” grammar dalam Bahasa Korea dan betapa “miskin” grammar dalam Bahasa Indonesia. Di sini gue tidak akan mengikutsertakan Bahasa Inggris karena, jujur aja, grammar Bahasa Inggris juga kalah jumlah jika dibandingkan dengan grammar di dalam Bahasa Korea. Dan, bukan, gue tidak meng-imply bahwa “kaya atau miskin” ini adalah hal yang bagus atau buruk, tapi seperti yang disebut Jesse Choi tadi, lack of grammar membuat penutur dan juga pendengar harus ekstra hati-hati dalam menangkap nuance dari satu kalimat. Salah nada, salah ekspresi, ataupun salah gesture, bisa membawa pendengarnya ke arti yang benar-benar berbeda dari yang dimaksud si penutur. Bagi orang yang bahasa ibunya bukan Bahasa Indonesia, ini akan jadi tantangan yang sangat besar. Bagi orang yang native speaker Bahasa Indonesia? Ketika menemui bahasa yang grammar-nya banyak, otaknya bisa meledak (kayak gue contohnya).

Ya, gue sendiri kadang frustrasi dengan banyaknya variasi grammar dalam Bahasa Korea. Dengan otak yang mostly berpikir dalam Bahasa Indonesia ini, grammar dengan banyak nuance tersebut bagi gue (kadang) nggak ada gunanya. Seringkali gue mengeluh sendiri, “Kenapa sih ini harus jadi grammar terpisah? Kenapa sih grammar untuk menyebutkan isi pikiran aja harus segini banyaknya?”.

Gue bakal mengambil contoh dari grammar dalam kelompok “future”.

Kalau di Bahasa Indonesia, ketika kita bilang “Aku akan datang” artinya bisa macam-macam tergantung konteks dan lawan bicaranya. Maknanya hanya bisa ketahuan ketika disebutkan secara verbal. Kalau ditulis tanpa konteks? Nuance-nya sulit sekali buat ditebak.

Kalau di Bahasa Korea, kita bisa bilang “제가 올 거예요”, “제가 올게요”, atau bisa juga “제가 오겠어요”. Ketiganya kalau diartikan ke Bahasa Indonesia, sama-sama “Aku akan datang”. Akan tetapi, buat penutur Bahasa Korea, tiga kalimat tersebut punya nuansa yang berbeda.

Yang pertama “제가 올 거예요” itu lebih ke “Aku akan datang” secara harfiah, tidak ada vibe tambahan, dan ketika pakai “ㄹ 거예요” berarti tandanya si pembicara sudah yakin dengan omongannya dan kemungkinan besar dia akan datang.

Yang kedua “제가 올게요” biasa dipakai ketika si pembicara bilang ke lawan bicaranya kalau dia punya willingness dan semacam “berjanji” ke lawan bicara kalau dia akan melakukan aktivitas yang disebutkan tadi. Situasinya misalnya:

A: “Siapa nih yang mau dateng ke meeting di kota sebelah?”

B: “제가 올게요. Gue (yang) bakal dateng.”

Terus, yang ketiga, “제가 오겠어요”. Kalau yang ini, mirip-mirip tipis sama yang kedua karena menunjukkan intend dan willingness untuk melakukan suatu hal, tapi di sini si pembicara semacam “berjanji” ke dirinya sendiri. Contoh situasinya:

“전 남친을 만나지 않겠어. Gue nggak akan jadian lagi sama mantan.” (semacam janji ke diri sendiri, meskipun di situ ada orang lain juga yang dengerin).

Mungkin itu contoh-contoh sederhananya. Gue bisa salah juga ya, karena gue belum menerjukan diri ke dalam society Korea jadi penggunaan grammar kayak gini kadang masih kurang tepat. Untuk benar-benar bisa “paham” kapan dan dalam kondisi apa itu dipakai, emang harus sering-sering lihat contoh kasus dan coba ngobrol langsung dengan orang Korea sih sepertinya (which I never did, lol).

Selain dari itu, masih banyak lagi variasi grammar Bahasa Korea lainnya yang memang tidak ada ekuivalennya di dalam bahasa kita. Karena itu juga, kalau gue baca lirik lagu Korea yang kata-katanya sedikit banyak gue mengerti, kadang sedih melihat bagaimana nuansa yang terkandung dalam lirik tersebut hilang dalam proses translasinya ke bahasa lain. Ya, ini sama aja sih kayak kalau kita menerjemahkan buku Bahasa Indonesia ke Bahasa Inggris, misalnya. Something getting lost in translation itu udah pasti terjadi dan bukan cuma Bahasa Korea aja yang mengalami.

Bahasan tentang bahasa emang ini selalu seru, ya?

Mungkin di lain waktu gue ingin bahas dari sisi Bahasa Korea atau Indonesia dan relasinya dengan cara berpikir dan tradisi bangsanya. Dari dulu salah satu pertanyaan “ayam dulu apa telur dulu” dalam dunia bahasa juga “culture shapes language or language shapes culture” hahaha. Keduanya nggak salah, karena emang udah jadi rantai yang saling terhubung aja. Culture shapes language, and then language shapes culture. Itu juga yang membuat gue percaya bahwa cara terbaik untuk “masuk” ke dalam suatu society adalah dengan menjadi penutur bahasanya.

--

--

No responses yet